Kalau bicara motivasi, dorongan, ada banyak faktor hingga akhirnya memilih Montessori sebagai panduan dalam mengamati tumbuh kembang anak. Ada satu masa dimana saya merasa cukup shock karena anak divonis speech delay oleh dokter anak A dan ‘kelainan kepribadian’ oleh dokter B. Usia 21 bulan anak pertama saya baru mulai bisa bicara yang jelas. Itu juga baru sekedar menyebut nama papinya. Merasa ada yang salah dari cara saya mengasuh anak, maka dari sanalah pencarian saya dimulai hingga bisa berkenalan dengan Montessori.
Anak pertama itu saya berikan gadget bahkan dari 3 bulan, biasanya saat bath time. Dan itu jadi keterusan sampai usianya mau 18 bulan di saat meal time. Bayangkan ya buibu, dosa besar saya ini🙈 Apa yang melatarbelakangi saya memberi gadget ke anak? Saat itu hanya karena ikut trend aja, “dikasi gadget anak bisa jadi pintar loh”, begitu dulu kata ipar ke saya. Saya bahkan gak tau ada bahaya di balik pemberian gadget untuk anak usia dini, selain bisa membuat mata minus🙈
Kalo menengok perjalanan hidup saya waktu kecil dan setelah menikah, saya yang dulu itu kok bisa merasa cukup pede gitu cuma berbekal ilmu pengalaman dari orangtua dan saya sendiri untuk mengasuh anak, haha.. Akhirnya sadar, kenyataannya kan ga semudah praktknya. Over pede itu membuat saya sedikit telat dalam mengenal dan mempelajari Montessori, ditambah adanya efek negatif dari pemberian gadget.
“Usia emas (Golden Age) anak tidak lama, hanya sampai usia 6 tahun”, begitulah pernyataan yang membuat saya semakin bersemangat untuk mengejar ketertinggalan. Tapi dari kumpulan buku-buku parenting itu yang saya baca, saya merasa belum dapat panduan yang terang-benderang. Menurut saya, masi sebatas teori, belum nemu “solusi teknis”-nya, sehingga mudah terlupakan. Dan karena tidak ada skema yang sistematis dari buku itulah, pencarian saya masi berlanjut. Anak pertama yang saat itu saya masukkan di klub bayi, dan saya praktikkan ulang materinya di rumah akhirnya berujung pada pertemuan saya dengan Montessori. Padahal saat itu saya aja gak mengenal apa itu Montessori. Atas ketertarikan itu, saya jadi bertemu dengan web Indonesia Montessori Club (IMC) dan saya seperti menemukan jawabannya, “Akhirnya! Ini yang saya cari”. Dan langsung jatuh cinta sama filosofi-filosofi Montessori dan juga metode pengajarannya yang begitu sistematis, lengkap, dan bisa dipraktekkan untuk pemula seperti saya.
Montessori sangat menghargai anak. Mengenal Montessori mengubah seluruh cara pandang saya yang dulu lebih banyak “menyuapi” menjadi “me-mandiri-kan” anak, yang tadinya lebih banyak posesif ke arah kebebasan dalam keteraturan (freedom within limits). Setiap anak itu mampu, dan tugas kitalah utk menuntun sampai anak bisa mengeluarkan seluruh potensi yang dimilikinya dan mengembangkannya.
Hal lain dalam Montessori yang sangat saya suka adalah caranya memperkenalkan segala sesuatu dengan sangat runut, dari yang simple ke rumit, dari luas ke detail. Dan bahwa anak punya masa sensitif/kepekaan (sensitive period) terhadap hal-hal tertentu di waktu-waktu tertentu. Ahhh..Rasanya sangat pas penjelasan ini di hati saya. Saya waktu itu masi bingung tentang bagaimana membimbing anak yang super aktif, harus mulai dari mana, karena selama ini anak lebih suka bermain dgn caranya sendiri. Tapi di Montessori semua itu bisa diarahkan utk memasukkan konsep-konsep sederhana seperti mengenal besar dan kecil, berat dan ringan, panas dan dingin, dsb.
Saya juga jadi nyambung sama teori-teori yang mengatakan bahwa anak butuh keteraturan. Ternyata ga cuma keteraturan soal waktu makan dan tidur, tapi juga butuh keteraturan dalam beraktivitas. Anak butuh yang namanya prepared environment untuk mendukung seluruh aktivitasnya. Dan seperti yang sudah mom ketahui bersama, ada 5 area dalam Montessori: Practical Life Area, Sensorial Area, Language Area, Math Area dan Culture Area. Melihat betapa luas, komplit dan terstrukturnya dalam Montessori, tidak salah jika banyak moms sebagai pendidik utama anak di rumah berkeinginan menerapkan Montessori di rumah untuk buah hatinya sejak dini. Karena kita merasa sudah ada panduan yang begitu jelas, tinggal mengikuti dan menyesuaikan dengan kondisi. Walaupun begitu, semua itu membutuhkan usaha dan pengorbanan dari kita sebagai orangtua supaya anak-anak bisa bertumbuh kembang secara optimal dan tetap on the right track.
Untuk anak pertama, Evan, kira-kira mendekati usia 2 tahun (21 bulan), walaupun belum menerapkan murni, baru sebatas filosofi seperti memberi lebih banyak ruang untuk beraktivitas di dalam rumah, mulai menjadi observator untuk mengenal kapan sensitive period si anak muncul dan menyiapkan fasilitas untuk practical life seperti menuang, menyendok, transferring.
Baru lebih intens untuk praktek Montessori di rumah saat anak kedua lahir. Karena ada perasaan menyesal telat mengenalkan Montessori ke anak pertama, maka untuk anak kedua saya sudah berkeinginan untuk lebih menekuni. Setidaknya sudah dimulai sejak anak kedua masih dalam kandungan. Mulai dari membacakan buku untuk baby dalam kandungan, mendengarkan instrumen musik klasik, sering berkomunikasi dgn si baby, dan mengerjakan aktivitas positif yg bisa membuat sy bahagia, salah satunya menyiapkan tray aktivitas untuk anak pertama..haha.. Memang itu semua bisa dilakukan karena masa kehamilan saya lebih enak dibanding waktu anak pertama yang membuat saya harus diinfus karena hyperemesis. Dan kerasa memang bedanya, anak kedua ini jauh lebih tenang, tipikal mudah tidur dan punya jadwal bangun dan tidur yg teratur. Karenanya dia pun mudah mengamati apapun yang dilakukan orang-orang sekitarnya, terutama mami dan kokonya.
Di usia 10 bulan, dimana Er (anak kedua) terasa sekali perkembangannya, saya mulai ber-DIY membuatkannya mainan, seperti telur-telur bertekstur, juga papan bertekstur untuk sensory feet, sebagai bagian dari Montessori-inspired area sensorial. Di usia ini juga Er tertarik menggunakan knobbed cylinder, mengambilnya secara mandiri di rak bahkan ketika saya ataupun kakaknya belum pernah mempresentasikannya sama sekali. Di situlah saya merasa, “wow, amazing”, bertanya sendiri seperti inikah rasanya anak yang terstimulasi lebih awal😆
Kalau saya flashback ke anak pertama dulu, yang bikin saya begitu takjub saat mengenalkan aktivitas Montessori (inspired) adalah anak yang biasanya sangat aktif bergerak, tidak berhenti kesana-kemari, akhirnya untuk pertama kalinya bisa sejenak mau duduk fokus sekian menit hanya untuk menyelesaikan tantangan/tugas di depannya. Wow, amazing banget bagi saya, sampai detik ini ingatan itu begitu bersinar dalam memori saya. Anak pertama saya bole dibilang cenderung sangat aktif (yang saya sendiri mengira dia anak hyper saat belum betul-betul paham), jadi kenyataan bahwa dia bisa untuk duduk diam, fokus, memasukkan bola-bola pom-pom sampai tuntas ke dalam botol yang sudah saya lubangi tutupnya lalu mengulanginya lagi beberapa kali, bagi saya itu “wow” banget. Dan itulah mainan DIY pertama saya buat nya😂
Setiap pilihan yang diambil pasti ada resiko senang dan susahnya, begitu juga saat kami berusaha menjalankan praktek Montessori. Terbiasa dengan adanya helper dari kecil membuat saya bergantung juga dengan mereka bahkan sampai saya punya anak. Tapi perlahan saya sadar, sikonnya sudah berbeda, semakin sulit menemukan helper yang sesuai, hingga saya putuskan helper manusia ditiadakan saja.
Justru dengan kondisi ketiadaan helper itulah membuat saya meyakini saat itu, ini memang “jalannya” untuk benar-benar praktek keterampilan hidup buat anak-anak. Dengan mereka melihat sendiri bagaimana saya bekerja di rumah, di dapur ataupun saat harus mencuci pakaian, secara alami perhatian mereka terfokus pada hal-hal apapun yang dikerjakan ibunya. Dan memang terasa sekali, anak kedua memang sangat menyukai kegiatan keterampilan hidup. Di usia yang belum lagi genap 2 tahun dia sudah bisa mengupas dan memotong wortel juga kentang, menyapu dan mengarahkan kotoran ke serokan, mencuci piring dan sikat gigi sendiri. Inilah tujuan besar yg ingin dicapai dalam ber-Montessori, karena membuat anak bisa membantu dirinya sendiri dan orang lain.
Tapi tetap ya namanya seorang ibu juga manusia bukan super woman, ada lah ya saat-saat saya merasa down secara mental, yaitu ketika saya gagal membagi waktu dengan baik, dan saat semuanya terasa tidak sesuai harapan haha.. memang sifat dasar manusia ada serakahnya dan mau berada dalam kondisi nyaman terus. Ketika belum selesai 1 pekerjaan, lalu datang lagi pekerjaan lainnya, atau kedua anak menangis di waktu yg sama, itu rasanya cukup menguras energi, bagaimana kita harus mengontrol semua emosi di depan anak. Menyelesaikan emosi anak dengan baik juga berarti saya harus sering-sering refleksi diri, salahnya dimana supaya bisa dicari solusinya. Terkadang juga terselip rasa bersalah ketika tidak bisa maksimal mendampingi mereka bermain karena harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga🥺
Tantangan dari luar yang saya hadapi justru dari keluarga sendiri. Mereka merasa bahwa apa yang saya lakukan utk anak-anak berlebihan, membeli printilan yang tidak perlu (bagi mereka loose part itu tidak berguna dan hanya mubazir😁), membeli apparatus yang katanya kemahalan (dipikirnya itu mainan), bahkan saat saya mengajak anak untuk eksplorasi ke tempat-tempat baru pun dirasa gak perlu karena katanya anak-anak masi kecil, tidak mungkin ada yang bisa mereka ingat. Judging dengan alasan-alasan yang sangat “konservatif” menurut saya, yang didasari karena kekurangtahuan mereka dan juga kekurangmampuan saya dalam mengkomunikasikan kebaikan-kebaikan dari ber-Montessori.
“positive vibes will turn back positive vibes too”.
Untuk anak kedua, E2, usianya sekarang 2.5 tahun. Ijinkan saya membagi milestone anak kedua yang menurut saya berkat menerapkan Montessori sedini mungkin:
💗Di usia 10 bulan sudah mulai bisa ngomong dan panggil papa-mama, juga mulai bisa berjalan
💗Mulai bisa berlari di usia awal 13 bulan.
💗Usia awal-awal 1 tahun tertarik dengan sapu dan mendekati 1,5 tahun sudah mulai bisa mengarahkan sampah ke serokan. Ini bertahap ukuran sapunya, mulai dari sapu mobil, sapu mainan mini, lalu ke sapu berukuran sedang yang mendekati tinggi badan si anak.
💗Usia 21 bulan tertarik dengan gunting dan bisa menggunting dengan cara pegang versi anak.
💗Usia 23 bulan sudah menggunting dengan cara pegang yang benar.
💗Usia awal 24 bulan bisa memakai pakaian lengkap sendiri walaupun masi kebalik-balik.
💗Usia 27 bulan bisa mengancingkan baju sendiri.
Dan hal-hal kecil lain berkaitan dengan perkembangan kognitifnya, yang semuanya saya rasakan berkat saya mengenalkan Montessori sedini mungkin untuk E2.Tentunya yang saya share ini tidak perlu dijadikan tolak-ukur kemampuan anak, karena saya yakin setiap anak punya potensi kecerdasan bawaan masing-masing yang berbeda satu dengan yang lain.
Untuk praktek Montessori area keterampilan hidup, saya bebaskan anak kedua utk mengenal lebih banyak hal dengan memberinya kesempatan untuk mencoba, mengikuti ketertarikan anak saat itu, dengan catatan selalu dalam pengawasan. Sebagai contoh:
1. memegang pisau asli untuk memotong buah, mulai dari buah yang lunak dulu seperti pisang. Lalu bisa ke tekstur yang keras seperti wortel, kentang, jika dirasa anak mampu melakukannya. Saya ijinkan karena si anak intens sekali meminta ijin untuk dibolehkan memotong wortel. Ini saat usianya menginjak awal 2 tahun, tapi waktu pertama kali masi menggunakan pisau tart di usia 17 bulan.
2. memarut keju, ini kegiatan favorit anak-anak, karena akan selalu ada kesempatan memakan keju hasil parutan haha 😀
Yang sedang dan masi akan jadi pe-er buat saya adalah bagaimana mempertahankan suatu ritme yang sudah bagus, di Montessori menyebutnya “normalisasi”, suatu keadaan dimana anak memiliki keyakinan diri, disiplin diri dan pilihan tujuan dalam berkegiatan.
Anak pertama, kecerdasan kinestetiknya cukup menonjol, suka lari kesana kemari, gross motor skill nya sudah mantap, suka nyanyi, dan hobi sehari-harinya bersepeda setiap sore, kalo tidak lagi hujan atau sakit. Sejak bisa naik sepeda roda dua di umur 4 tahun 1 bulan, E1 yang memang cenderung menyukai hal-hal berkaitan dengan speed, naik sepedanya gak bisa dikayuh pelan2, tapi ala racer😂 padahal ini di perumahan yang notabene juga banyak pengendara lewat, kadang juga ngebut. Jadi mengawasinya juga cukup menguras energi. Ditambah ada si bungsu yang ikutan dengan balance bike nya😂 Hobi renang baru tersalurkan di usia 5 tahun 1 bulan, karena baru mau les di usia itu. Saya lebih menunggu kesiapan anaknya daripada memaksanya untuk les lebih awal. Karena saya mengenali tipikal anak pertama saya ini adalah anak yang cukup punya determinasi, kalo sudah menjatuhkan pilihan untuk A, dia konsekuen dengan pilihannya, dan biasanya sangat jarang berubah lagi. Sampai hari ini belum pernah merasa bosan renang.
Masi panjang perjalanan kami untuk bisa menggali lebih lanjut potensi-potensi baik dalam diri anak dan mengembangkannya. Tidak kalah penting, juga meneladankan moralitas kepada mereka, karena kecerdasan inderawi tanpa moralitas hanya akan membawa pada kehancuran.
“What the hand does, the minds remember”
Kutipan apa yang dikatakan Dr. Maria Montessori ini sangat mengena dengan realita. Kenyataannya memang demikian adanya. Anak-anak melalui serangkaian proses sebelum berakhir pada munculnya pemahaman. Proses yang terhubung dengan pengalaman merasakan langsung membuat anak bekerja dengan mengaktifkan seluruh inderanya. Ketika anak melihat sesuatu lalu mendengar, timbul dorongan utk menyentuh, meraba, ataupun mencium. Penekanan dalam Montessori adalah proses, bukan hasil.
Kemampuan indera membantu anak untuk memahami detail benda atau fenomena melalui kegiatan yang berpola. Dengan kemampuan indera yang baik anak mampu membedakan kualitas seperti perbedaan warna, bentuk, bau, tekstur, berat, dan ukuran. Dengan kemampuan tersebut anak mampu menentukan, mengelompokkan, dan menghubungkan informasi baru ke dalam informasi yang telah dia ketahui. Alat bantu yang dibutuhkan dalam area ini semua bertujuan untuk meningkatkan perkembangan otot dimana menjadi pondasi keterampilan menulis, menentukan ukuran yang tepat, dan memperkaya konsep abstrak dalam bidang matematika.
Maka tidak salah jika area sensorial dalam Montessori menjadi area kedua yang wajib diperkenalkan setelah area practical life.
Saya percaya ungkapan, “tidak ada kata terlambat untuk memulai”.
Mulailah dari kegiatan hidup sehari-hari. Di montessori, practical life area ini seperti menjadi jantung kegiatan ber-Montessori. Bila kita masi baru akan menerapkan dan bingung mulai dari mana, kita bisa mulai observasi dgn memberikan kegiatan keterampilan hidup. Begitu pun ketika kita ada jeda dalam praktek dan ketinggalan dalam observasi anak, kembali lagi ke area ini. Dalam Montessori, kegiatan keterampilan hidup ini memiliki tujuan untukk mengembangkan fokus dan konsentrasi anak, koordinasi anggota tubuh, kemandirian dan keteraturan. Ini juga yg dulu saya terapkan utk E2, walaupun sebenarnya saya lah yg belajar dari anak saya, karena anak-anak itu jika kita jeli dan mau terus jadi pendamping dan observator yang baik, mereka sudah memberitahukan banyak hal ke kita, sedang tertarik dengan apa, lewat tindakan dan penolakan mereka. Gak menunggu usia sekian tahun, dari bayi pun seorang anak sudah menunjukkan ke-alami-an (fitrah) nya sbg makhluk hidup yang cerdas.
Untuk kondisi sekarang ini dimana kedua anak saya yang terpaut usia hampir 3 tahun, saya memang harus lebih berusaha untuk mengakali bagaimana membagi timing nya saat mereka ingin memakai apparatus yang hanya ada 1 di waktu yang sama. Karena adik selalu ingin meniru apapun yang kakaknya kerjakan, dan terkadang begitu juga sebaliknya, kalo kakak merasa kegiatan adik “kok menarik ya”, ingin ikutan juga. Maka cara saya, diawali ketika kakak akan beraktivitas, adik sudah saya beri tahu untuk melihat dulu apa yang kakak kerjakan, kalo sudah selesai, nanti adik boleh pakai. Terselip harapan juga, dengan cara ini adik jadi bisa belajar antri. Tapi ini tidak selalu berhasil, terutama karena sisi egosentrisnya masi sangat kuat untuk si anak 2 tahun ini, jadi merasa “aku bisa” dan mau merebut.
Maka step selanjutnya, memberikan pengalihan dengan apparatus yang mirip, misal kakak lagi bekerja dengan long number rods, maka saya berikan adik red rods versi sedang yang saya punya, dengan catatan saya berikan utk dimainkan bebas versi dia, karena saya masi pendampingan untuk kakaknya. Biasanya adik pakai untuk jadi track mobil, dia susun sendiri seperti contoh yang pernah saya kasi. Tantangannya disini adalah, terkadang fokus saya untuk kakak jadi terkacaukan karena adik yang jadi menuntut diperhatikan, didampingi, kurang sabar dan belum mau berkompromi untuk menunggu saya selesai mendampingi kakaknya. Padahal maminya kan gak bisa dibagi-bagi🥴
Cara lainnya, saya berikan apparatus yang biasanya ga pernah dia tolak untuk dimainkan, misal multiplication-division board, karena ada banyak beads nya, dan disana dia merasa “feel like koko” karena dipercaya memakai apparatus yang kakaknya pernah pakai. Ini dipakainya juga versi bebas, dengan menyusun beads nya ke lubang-lubang di papan.
Alternatif lain, mengijinkan mereka untuk berkolaborasi, misalnya saat kakak meminta ijin ingin diberi kesempatan untuk mempresentasikan ke adiknya apparatus yang sudah dia ketahui cara pakainya, seperti menggunakan DIY Montessori Sound Boxes. Ini biasanya jadi kesenangan dan kebanggaan tersendiri buat kakak, dan adiknya juga dengan senang hati mau diajarkan. Walaupun bukanlah presentasi yang perfect, tapi bagi saya itulah waktu yang berkualitas karena bisa merekatkan bonding keduanya dan saling belajar. Cara-cara itu saya pakai kalo saya gak sempat memikirkan alternatif kegiatan buat keduanya di waktu yang sama, atau pada sikon-sikon tertentu, kakak memang lagi di periode sensitif ingin memakai salah satu apparatus untuk bekerja mandiri.
Jurus terakhir yang memang seharusnya sudah jadi tugas saya, adalah menyiapkan materi yang terstruktur. Jika kakak lagi belajar tentang volcano, maka adik saya siapkan kegiatan serupa sesuai level kemampuannya. Misal seperti beberapa waktu lalu, kakak lagi buat 3D volcano dari bahan wadah kardus telur, maka adiknya buat versi 2D, bisa dengan cara dicat, atau menggunting kertas origami dan menempelnya sesuai pola. Dan mereka bisa bekerja di waktu yg bersamaan, kakak sibuk adik juga, mami cukup mengawasi dan membantu kalo dibutuhkan saja. Dengan begitu tidak ada rasa cemburu dari adik melihat kakaknya dikasi kegiatan. Dan ini juga membangkitkan rasa percaya diri adik, bahwa “dia itu bisa”. Memberi kesempatan selebar-lebarnya kepada anak untuk melakukan apapun yang menurutnya dia bisa, itu juga ditekankan dalam Montessori.
Sharing from mom @halim.nina